28/08/12

CARPE DIEM "Isilah harimu. Jadikan hidupmu luar biasa"

Liburan panjang telah selesai...Tentunya bagi kita semua, menjadi sesuatu pengalaman yang layak dikenang...setelah mengisi dengan berbagai aktivitas yang merecharge FUN ENERGY. Saatnya kita kembali mengisi lembaran hari-hari kehidupan dengan karya-karya yang menyenangkan. 

"Tapak Tilas Pendidikan" itulah aktivitas yang saya lakukan sebelum liburan. Selama 5 hari di Surabaya, saya berusaha mengenang masa-masa sekolah khususnya saat di SD dan SMP. Caranya? Kunjungan ke gedung sekolah-sekolah dan menemui beberapa orang guru yang masih aktif. Banyak cerita menarik, berkesan, juga membuat hati ini kembali tergerak. Mengharukan, saat saya tidak lagi menemukan gedung sekolah TK-SD ku Bhinneka Bakti jl. Kayon, yang telah berubah menjadi area perkantoran.Namun saya berhasil mengunjungi SD Santa Anna di jl Menur Pumpungan (sekolahku saat kelas 4-6). Sengaja saya berjalan kaki menyusuri gang-gang kecil, mengenang langkah-langkah kaki kecilku dulu. Hahaha benar, saya tersadar, bahwa di masa-masa itulah, saya memiliki postur tubuh yang paling ceking (seingatku dengan tinggi badan 155 cm an, berat badanku hanya 38 kg di kala itu). 


Dari obrolan dengan guru-guru dan melihat realita yang banyak terjadi di lingkungan sekolah, ada pertanyaan besar dalam diriku. Benarkah kita telah memrioritaskan pendidikan Anak Bangsa yang tepat? 


  • Masih banyak kurikulum sekolah yang lebih menekankan pendidikan kognitif daripada karakter.
  • Masih banyak orang tua murid yang galau, ikutan sibuk ngurusi "PR" anak-anak mereka yang bertumpuk dan kadang tidak jelas tujuannya.
  • Masih banyak anak-anak yang terpaksa diikutkan kursus untuk mengejar nilai-nilai mereka (termasuk beberapa mata pelajaran yang belum tentu mereka minati).
  • Masih banyak anak-anak yang kehilangan peluang mengembangkan kreativitas dirinya. 
 
Saya jadi ingat sebuah film Dead Poets Society. Film yang menceritakan bagaimana seorang guru bahasa Inggris bernama John Keating (yang dimainkan dengan FUNtastic oleh Robin Williams), mendobrak sistem lama di sebuah sekolah asrama yang menganut 4 prinsip: Tradisi, Kehormatan, Disiplin, dan Prestasi. I always thought the idea of education was to learn to think for yourself kata John Keating ke para muridnya. Hingga lewat pembelajaran yang membuka "mata hati" mereka, suatu saat ada muridnya yang berkata : For the first time in my whole life, I know what I wanna do! And for the first time, I'm gonna do it! Whether my father wants me to or not! 

Carpe diem! Isilah harimu anak-anak, jadikan hidupmu luar biasa.



19/08/12

BERBAGI KASIH DI HARI LEBARAN


Forgiveness does not change the past,
but it does enlarge the future. 

Ketika mendengar bedug kemenangan sore ini di komplek perumahanku Lippo Karawaci, tersirat kenangan bermain bersama di malam takbiran saat masa kecilku di Surabaya seakan mengatakan padaku bahwa lebaran juga milikku.

Kondisi ini  mengajariku mengerti arti  berbagi dan saling menghargai walaupun kami berbeda. Sungguh memori indah yang takkan terhapus sepanjang masa. Amin.

" Minal Aidin Walfaizin, mohon maaf lahir dan batin atas salah kata maupun sikap, dan semoga semua sahabatku yang merayakannya selalu bahagia".

FUN INDEPENDENCE DAY

Sebuah negeri yang menyatakan merdeka 67 tahun yang lampau. Merdeka bukanlah STATUS, namun sebuah TINDAKAN dan KARAKTER bangsa.  Bagaimana para Tokoh Fun Master Indonesia menilai arti MERDEKA? Simak video berikut.......

04/08/12

Bangkitnya Generasi Kreatif Indonesia

24 Juli lalu, saat mengisi talk show di Radio DFM 103.4 FM, saya tertarik berbicara Bangkitnya Generasi Kreatif Indonesia. Bukan hanya karna bertepatan 1 hari sebelumnya kita memperingati Hari Anak Nasional, namun juga karna menariknya kasus ini untuk dibahas.

Hasil survey Ipsos, di awal 2012 pun menyatakan 75 persen orang Indonesia memilih menjadi lebih kreatif ketimbang lebih pintar sebanyak 25 persen.

“Kebanyakan orang Indonesia, laki-laki dan perempuan yang berusia di bawah 35 tahun sampai 64 tahun dengan pendapatan dan tingkat pendidikan yang bervariasi menginginkan menjadi lebih kreatif dibandingkan menjadi lebih pintar," kata Managing Director Ipsos Indonesia, Iwan Murty di Jakarta, Kamis (12/7).Survei juga menunjukkan, Indonesia merupakan negara dengan persentase tertinggi dibandingkan 24 negara lainnya yang disurvei, dimana penduduknya memilih untuk menjadi lebih kreatif dibandingkan lebih pintar.

Menariknya apakah kita telah tepat memahami dan membangun kreativitas sejak usia dini?


Seorang peneliti dari NASA, Josh Clark pernah menyampaikan hasil penelitiannya bahwa hanya 2% dari orang dewasa yang kreatif, di satu sisi 98% dari anak-anak berumur 5 tahun ternyata kreatif. Dan yang menarik seiring dengan perkembangan usia, banyak orang yang meninggalkan sisi kreativitas dalam dirinya. Mengapa ini dapat terjadi? Dengan bertambahnya usia seseorang, keberanian mereka makin berkurang untuk berpikir kreatif ‘thinking out of the box’ tanpa takut dibilang bodoh oleh orang lain.



Harga diri seseorang sering dikaitkan dengan kemampuan berpikir secara logis yang berlebihan, dimana hal ini  malahan membatasi ide-ide cemerlang yang memang biasanya lahir dari hal-hal yang mungkin dianggap bodoh dan tak berarti. Ibarat 4 orang buta yang mendefinisikan seekor gajah dengan batasan sempit yang mereka ketahui, sejauh pemikiran dan pengetahuan logis yang mereka miliki, maka semua itu tidak menghasilkan sebuah unsur utama sebuah perbaikan, yaitu kreativitas. 


Hal yang juga menjadi tantangan saat ini, masih terjadinya "pemasungan kreativitas" tanpa sengaja dari perilaku sistem pendidikan atau pun lingkungan terdekat dari si anak, yaitu orangtua. Keyakinan pilihan yang terbaik untuk sang anak, masih adanya perilaku otoriter. Tidak mengajak diskusi atau pun berusaha memahami si anak. Bahkan dalam salah satu Seminar Karir saya, ada seorang mahasiswa yang menyatakan keluhannya karena merasa tidak mungkin memenuhi keinginan orangtua nya untuk masuk perusahaan (BUMN) tertentu. Karna ia punya pilihan yang berbeda, dan hal ini belum pernah disampaikan langsung ke orangtuanya karna kuatir ditolak dan menyakiti hati mereka.

Peta persaingan dunia telah berubah! 

”Sekarang perubahan begitu cepat dan terburu-buru dalam masyarakat teknologi sehingga kebenaran kemarin tiba-tiba menjadi fiksi hari ini.”

~ Alvin Toffler

Saat ini persaingan dalam dunia global telah mengalami sebuah perubahan yang fundamental. Dalam bukunya “The World is Flat”, Thomas L. Friedman membagi 3 gelombang globalisasi dunia.  

Globalisasi 1.0 terjadi mulai tahun 1492, ketika Columbus memulai pelayarannya keliling dunia, hingga tahun 1800. Globalisasi ini ditandai dengan penjelajahan dan penguasaan negara-negara di dunia, serta munculnya negara bangsa.
Globalisasi 2.0 terjadi pada 1800, ditandai dengan Revolusi Industri hingga tahun 2000. Kekuatan dunia dipegang oleh perusahaan-perusahaan multinasional yang melakukan integrasi-integrasi bisnis secara global.
Globalisasi 3.0 sangat berbeda dengan dua globalisasi sebelumnya, tidak hanya menyusutkan dan mendatarkan dunia, namun juga makin kuatnya peranan individu sebagai pemegang perubahan dan kekuatan dunia. Dan salah satu kunci kemenangannya bagaimana tiap individu mampu bertindak global.
 
Jadi terbuka peluang besar justru para anak-anak muda generasi penerus bangsa kita. Kekuatan merekalah baik dari segi karakter yang diperlengkap dengan kreativitas berkarya yang akhirnya membuat mereka akan tampil unik dengan perannya masing-masing. Berhentilah kita mematikan daya imajinasi anak, berhentilah ktia menciptakan "robot-robot kecil" yang hanya menjadi penurut namun di dalam dirinya mereka berontak...karena energi perasaan yang luar biasa, potensi yang dikubur perlahan.


Karna itu adalah sesuatu kabar yang sangat menggembirakan tatkala seorang ayah bernama Gunawan Siswoyo, berhasil menghantarkan anaknya Linus Nara Pradhana (pelajar kelas 8 Petra 5, Surabaya) menjadi pemenang 1 di  ajang International Exhibition for Young Inventors (IEYI) di Bangkok,Thailand, 28-30 Juni 2012. Mengalahkan 207 penemu muda lainnya yang datang dari sembilan negara, temuannya "Helm ber AC"  bukti kerjasama yang indah dari ortu yang selalu mendukung, membiarkan imajinasi sang anak berkarya. Puluhan helm berbagai merek dihabiskan untuk memperbarui temuannya.

Seperti yang diutarakan kepada Redaksi Harian SINDO Biro Jawa Timur, “Papa sangat membantu untuk memberikan semua perlengkapan temuan saya,” ucap Nara. Sementara Gunawan awalnya sempat tidak percaya dengan helm yang diciptakan anaknya itu bisa memberikan efek dingin. Namun, dia tak ingin membuat semangat anaknya kendur. Hingga saat temuan pertamanya, water coated helmet itu dikatakan memang memberikan efek dingin. “Padahal, water coated helmet-nya itu saya pakai hingga empat kali belum dingin juga. Bahkan sama dengan helm kebanyakan,”katanya.
 
Selamat datang generasi kreatif Indonesia, selamat Linus, selamat Pak Gunawan.